Tiket Naik, Menhub Kebakaran Jenggot, Masyarakat Aceh ramai-ramai bikin paspor bila akan ke Jakarta

NEGERI kita sedang ada pertunjukan tidak lucu. Ketika masyarakat mengajukan petisi memrotes kenaikan harga tiket pesawat yang tinggi, pemerintah (Kementerian Perhubungan) sepertinya kebakaran jenggot. Usai INACA (Indonesia National Air Carrier Association) dipanggil menteri, operator setuju menurunkan kembali harga tiketnya dengan 20 persen sampai 60 persen.
Dari sisi masyarakat, kebijakan yang diambil itu OK banget. Bayangkan saja pada saat musim sepi (low season) setelah angkutan liburan natal dan tahun baru usai, harga tiket pesawat naik sampai ada yang dua kali lipat. Tiket pesawat Batik Air dari Banda Aceh ke Jakarta Rp 2,3 juta, Garuda memasang tarif antara Rp 2 juta hingga 3 juta, kini tarif Garuda Rp 1,5 juta.
Namun meski tarif sudah turun, masyarakat Serambi Mekkah itu tetap saja ramai-ramai bikin paspor agar kalau akan ke Jakarta mereka bisa naik pesawat asing jurusan Kualalumpur lalu disambung ke Jakarta, tarifnya hanya Rp 800.000. Jangan-jangan hal sama berlaku juga untuk orang Jakarta yang akan pergi ke Menado atau Lombok.
Mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan No 14 tahun 2016 yang memuat TBA (tarif batas atas) dan TBB (tarif batas bawah), penurunan tarif penerbangan sudah terjadi tetapi akan segera dikompensasi bagasi berbayar yang semula gratis.
Dalam pertemuan INACA dan pemerintah itu disepakati pengurangan tarif layanan bandara dan navigasi, porsinya BUMN Â Angkasa Pura dan AirNav. Tetapi mereka masih belum puas, menuntut penurunan harga avtur yang dipasok Pertamina yang lebih mahal dibanding harga avtur bandara luar negeri, sementara Shell dan BP menjual avtur lebih mahal sedikit.
Kemudian lagi, salah satu perusahaan penerbangan minta juga bagian dari pajak bandara (passenger service charge – PSC). Mereka merasa berjasa telah membawa banyak wisatawan asing.
Mekanisme pasar
Menurut informasi, dari penjualan tiket yang diterima perusahaan penerbangan, sekitar 45 persen digunakan untuk avtur, menyewa pesawat 20 persen dan layanan kebandaraan 10 persen. Sisanya untuk biaya operasional termasuk perawatan pesawat serta gaji karyawan dan pilot.
Dampak kesepakatan, penurunan harga tiket akan memperkecil laba BUMN. Ini membuka kemungkinan Angkasa Pura dan AirNav ditegur keras Menteri BUMN, yang selalu menginginkan laba jajarannya naik terus.
Perusahaan penerbangan selalu mengeluh rugi walau tidak bangkrut. Garuda rugi 110,2 juta dollar AS sampai triwulan 3 tahun 2018, menurun dibanding periode sama tahun 2017 sebesar 221,9 juta dollar AS. Sriwijaya Air menderita rugi dan kewalahan sehingga menyerahkan manajemennya lewat kerja sama dengan Garuda dan Citilink.
Di balik drama penurunan tarif yang sekilas menguntungan masyarakat ini, campur tangan pemerintah membuat preseden buruk, karena semestinya bisnis penerbangan dibiarkan mengikuti mekanisme pasar. Perusahaan penerbangan dan masyarakatlah yang harus menyesuaikan diri.
Kalau pesawat domestik kosong karena orang pindah ke pesawat asing, pasti perusahaan penerbangan juga akan mengatur ulang tarif. Juga ketika di Jawa jalan tol sudah jadi pesaing kuat pesawat karena lewat tol Semarang ke Surabaya hanya dua jam.
Moch S Hendrowijono, pengamat telekomunikasi