Pemberlakuan Kebijakan IMEI Jadi buah simalakama dan Jadi Beban Operator
PASAR ponsel Indonesia yang penduduknya ketiga terbanyak di dunia setelah Tiongkok dan India, memang menggairahkan. Produksi ponsel di dalam negeri dengan adanya kebijakan tentang TKDN (tingkat kandungan dalam negeri) memang berhasil mengurangi impor ponsel utuh.
Catatan Kementerian Perindustrian menyebutkan, jumlah impor ponsel yang pada tahun 2013 mencapai 62 juta unit senilai 3 miliar dollar AS, sudah menurun menjadi 11,4 juta unit senilai 775 juta dollar AS pada tahun 2017. Selain terjadi penghematan devisa, industri ponsel dalam negeri pada saat sama tumbuh dari 105.000 unit dengan dua merek menjadi 60 juta unit dengan 34 merek.
Namun kewajiban TKDN tadi di sisi lain telah membentuk kesenjangan harga, sehingga impor ponsel BM (black market – selundupan), juga marak dan tumbuh terus, sampai menguasai sekitar 20 persen pasar. Orang pun bisa mendapatkan ponsel BM yang lebih murah harganya dibanding ponsel merek sama produksi dalam negeri, bukan hanya di toko-toko seperti di Roksi Mas tetapi juga di toko daring (on line).
Operasi yang dilakukan petugas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian untuk memberantas penjualan ponsel BM tidak sepenuhnya efektif dan ponsel BM tetap diterima di sistem milik operator. Sementara banyak operator dunia yang mengoperasikan alat autentifikasi EIR (equipment identity register) yang menolak ponsel dengan IMEI (international mobile equipment identity) yang tidak terdaftar.
Bisa dikloning
Setiap ponsel memiliki IMEI yang diakui industri ponsel dunia, sehingga ketika misalnya ada ponsel hilang atau IMEI-nya tidak terdaftar di Kementerian Perdagangan lalu terdeteksi masuk di sistem operator, operator bisa menolaknya. Tingginya ponsel BM membuat pabrikan dan distributor ponsel resmi dalam negeri mendesak pemerintah mengeluarkan peraturan yang mewajibkan operator menolak ponsel dengan IMEI yang tidak terdaftar/terautentifikasi.
Menteri Kominfo Rudiantara kepada media menyatakan harapannya, kontrol internasional IMEI di Indonesia akan berjalan pada 2019. Namun demikian, mengatur autentifikasi diakui memerlukan proses teknis yang panjang.
Hal ini juga diamini operator yang menilai kebijakan itu akan memberatkan karena mereka harus melakukan investasi lagi di tengah keterpurukan pasca registrasi dan perang harga yang masih menyisakan kerugian. Ketua ATSI (Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia) yang juga Direktur Utama PT Telkomsel, Ririek Ardiansyah melihat belum perlunya ada kebijakan pengadaan piranti EIR oleh operator saat ini.
Lebih penting bagi operator, pemerintah mengawasi registrasi kartu SIM secara lebih ketat dan akurat. “Apalagi konon IMEI bisa dikloning (digandakan),” kata Ririek.
Kalangan operator umumnya menilai, kebijakan penerapan EIR akan membangkitkan masalah antara operator dan pelanggan. Operator menempatkan pelanggan pada posisi tidak bersalah ketika membeli ponsel BM – karena harganya lebih murah – sehingga tidak layak dibebani kerugian akibat ponselnya memiliki IMEI yang ditolak.
Moch S Hendrowijono, pengamat telekomunikasi.