Tarif Inter Koneksi, Sudahkah Berpihak Pada Konsumen?

Bertempat di Jakarta, ITF menyelenggarakan seminar nasional dengan tema besar mengenai penurunan biaya interkoneksi. Dalam sambutannya, Rudiantara (Menteri Komunikasi dan Informatika) menekankan bahwa interkoneksi adalah hak pelanggan yang harus dilayani oleh masyarakat. Rudiantara menyebutkan bahwa ada lima dimensi terkait interkoneksi, yang perlu kita ketahui bersama.
Pelanggan punya hak untuk mendapatkan layanan interkoneksi. Sebaliknya kewajiban operator untuk memberi layanan interkoneksi kepada masyarakat. Tarif interkoneksi adalah B2B (business to business). Artinya ada business arrangement. Perbedaan dalam cara bisnis operator tidak boleh menjadi penghalang interkoneksi.
Sisi teknikal evolusi teknologi telekomunikasi akan mengarah ke IP (internet protocol) switched sehingga interkoneksi berbasis circuit switched kemungkinan akan hilang dalam beberapa tahun ke depan.
Keempat, pemerintah melihat interkoneksi adalah bagaimana industri seluler tetap sustainable ke depan serta semakin kompetitif sehingga bisa menawarkan layanan yang jauh lebih terjangkau bagi masyarakat.
Kelima, kewajiban operator ke depan adalah tidak hanya menempatkan jangkauan dan ketersediaan jaringan akan tetapi juga memantapkan QoS (Quality of Service) dalam melayani kebutuhan konsumen.
Benyamin Sura (Direktur Telekomunikasi Ditjen PPI Kominfo) saat ini pihaknya masih terus mengkaji dengan BRTI terkait besaran interkoneksi. Benyamin mengatakan bahwa saat ini mereka masih melakukan lelang tahap kedua untuk mendapatkan verifikator independen untuk menilai besaran nilai interkoneksi yang tentu membutuhkan data-data dari operator.
Sementara menurut I Ketut Prihadi Kresna, salah satu komisioner BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) pihaknya jelas mendukung industri telekomunikasi yang sehat. Penyesuaian terhadap tarif interkoneksi adalah salah satu upaya mengarah kepada persaingan industri telekomunikasi yang sehat.
Salah satu pendapat menarik datang dari pengamat telekomunikasi, Bambang P. Adiwiyoto yang menyatakan sejak beberapa tahun lalu dasar yang digunakan oleh regulasi dalam menghitung interkoneksi adalah LRIC (Long Run Incremental Cost). Dengan metode ini seharusnya dilakukan penghitungan ulang biaya interkoneksi dengan berpegang pada dasar tarif operator yang paling efisien. Artinya, konsumen bisa menggugat kalau dasar yang digunakan dalam mengambil kebijakan tarif interkoneksi itu bukan dari hitungan paling efisien. Bambang P. Adiwiyoto juga menyatakan bahwa sebaiknya tarif interkoneksi tidak menggunakan batas bawah,tetapi menggunakan batas atas.
Sebagaimana diketahui, Industri telekomunikasi seluler yang kuat tentu membutuhkan iklim usaha yang kompetitif karena berhubungan dengan hajat hidup masyarakat. Ketika iklim kompetisi dapat berlangsung dengan baik, maka masyarakat yang akan memperoleh dampak positif dari keberadaan industri tersebut.
Salah satu persoalan yang mencuat adalah kebijakan interkoneksi. Kementerian Kominfo mendorong operator untuk melakukan efisiensi dan keberlanjutan industri penyelenggaraan telekomunikasi dengan menurunkan tarif interkoneksi.
Ketika Kementerian Kominfo mengeluarkan Surat Edaran (SE) kepada Penyelenggara Telekomunikasi yang melakukan Interkoneksi (Penyelenggara) yaitu SE Nomor 1153/M.KOMINFO/PI.0204/08/2016 tertanggal 2 Agustus 2016. SE tersebut berisi penurunan tarif interkoneksi yang secara agregat turun sebesar 26 persen dan diberlakukan untuk 18 skenario panggilan layanan seluler. Tapi, kebijakan itu tak serta merta disambut oleh seluruh operator. Operator berbeda pendapat, ada yang pro, ada pula yang kontra.
Hingga akhir tahun 2016, kebijakan tarif interkoneksi ini belum juga ditetapkan hingga akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan membuat Panja Interkoneksi untuk menyelesaikan polemik ini. Padahal jika melihat dasar hukum interkoneksi sudah diatur pada pasal 1 butir 16 UU 36/1999 yang menyatakan bahwa Interkoneksi adalah keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda. Pada pasal 25 UU 36/1999 pada ayat (1) juga dikatakan bahwa setiap penyelenggara jaringan telekomunikassi berhak mendapatkan interkoneksi dan penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
Kemudian pada ayat (2) disebutkan bahwa setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara telekomunikasi lainnya. Pada ayat (3) dikatakan bahwa pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan prinsip : a). Pemanfaatan sumber daya secara efisien, (b), keserasian sistem dan perangkat telekomunikasi, (c) peningkatan mutu pelayanan, dan (d) persaingan sehat yang tidak saling merugikan.
Jika melihat pasal tersebut interkoneksi merupakan hak bagi operator meminta dan kewajiban bagi operator lain yang diminta. Meskipun menghasilkan pendapatan, interkoneksi tidak dapat dicatat sebagai bagian dari bisnis operator.
Setiap panggilan antaroperator selalu menggunakan setengah jaringan operator asal dan setengah jaringan operator tujuan, sehingga operator asal wajib memberi bagian pendapatan kepada operator tujuan.
Dengan aturan hukum tersebut sebenarnya tidak ada alasan bagi operator untuk menolak pengaturan tarif Interkoneksi, karena hal itu bagian dari regulasi. Formula perhitungan biaya interkoneksi ini ditetapkan oleh Pemerintah, dan operator hanya memasukan data yang diperlukan sesuai dengan kondisi jaringan masing-masing operator.
Ada sekitar Rp.4.5 triliun pemborosan karena kedua hal tersebut. Belum lagi potensi kehilangan Rp 44 triliun karena masyarakat mengurangi panggilan telepon. Bagi industri seluler, turunnya tarif interkoneksi selain menghemat produksi kartu juga lebih berhemat biaya iklan karena tak perlu fokus menambah pendapatan dari tarif on-net. (YOKE)