Kejaksaan mesti hentikan kasus IM2

Dalam diskusi “Bedah Kasus IM2 dari sisi kelangsungan industri telekomunikasi”, yang digelar Telkomedia Forum bekerja sama dengan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) di Restoran Harum Manis, Jakarta, Rabu (12/12) terungkap bahwa Kejaksaan mesti hentikan kasus IM2.
Para pembicara tersebut diantaranta Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Setyanto P. Santosa, Mantan Menteri BUMN Sofyan Djalil, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Telecommunication Law (ICTL) Sulaiman N. Sembiring, anggota BRTI Nonot P. Harsono dan Dekan Fakultas Hukum Usahid Jakarta Laksanto Utomo. Memberikan kesamaan pendapat hingga terlihat dengan jelas benang merahnya
Dari diskusi tersebut menyatakan bahwa penyelidikan terhadap kasus PT Indosat Mega Media (IM2) yang dituduh merugikan negara, oleh Kejaksaan Agung harus segera dihentikan. Hal ini karena banyaknya kesalahan penafsirah hukum yang dipakai kejaksaan. Kejaksaan Agung juga diminta lebih berkoordinasi dengan rekannya di kabinet, yaitu Menkominfo, yang secara tegas mengatakan tidak ada yang salah dengan kerja sama antara Indosat dengan anak perusahaannya tersebut.
Mantan Menteri BUMN Sofyan Djalil mengatakan banyak sekali kesalahan penafsiran yang dilakukan Kejaksaan dalam kasus ini, yang berbeda sama sekali dengan penafsiran dari MenKominfo, Internet Service Provider bahkan International Telecommunication Union (ITU) . Kesalahan penafsiran itu, menurut dia, karena Kejaksaan tidak bisa membedakan antara jaringan dan frekuensi.
Anggota BRTI Nonot Harsono juga memiliki pendapat senada. Menurut dia, sejak awal, kasus IM2 penuh kejanggalan, karena Kejaksaan tidak pernah mau mendengar pendapat dari Kominfo. Padahal, kata dia, kedua lembaga ini merupakan lembaga negara, di mana diperlukan koordinasi menyangkut hal-hal teknis. Apalagi menyangkut penggunaan frekuensi.
Sebagai regulator, kata dia, sikap BRTI sudah jelas. Logika bisnisnya, perusahaan yang membangun jaringan menginginkan jaringannya dipakai banyak pelanggan. Oleh karena itu, bila ada perusahaan yang membuat strategi dengan menyerahkan layanannya kepada pihak lain, apalagi anak perusahaan, itu merupakan bisnis yang lumrah. Dalam kaitan ini, katanya, IM2 sama sekali tidak menggunakan frekuensi, karena yang menggunakan frekuensi itu pemancarnya.
Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Setyanto P. Santosa mengatakan tuduhan yang dialamatkan ke IM2 ini bisa berdampak luas kepada industri. Saat ini, terdapat 280 ISP yang pola kerja samanya sama dengan yang dilakukan IM2 dengan Indosat. Akibat kasus ini, bisa jadi nantinya 280 ISP ini bisa dituduh hal yang sama, karena logika berpikir yang dipakai Kejaksaan dalam tuduhan tersebut sama.
Direktur Eksekutif ICTL Sulaiman N. Sembiring juga mempertanyakan pihak Kejaksaan atas kasus ini yang begitu ngotot untuk menyalahkan IM2, Sembiring juga mempertanyakan mengapa UU 36 tentang telekomunikasi tak pernah disinggung Kejaksaan dalam penetapan keputusannya.
“Ini seperti buruk muka cermin dibelah. Ini menjadi pertanyaan saya kepada Kejaksaan Agung. Ada persoalan apa di sana. Marilah kita semua berangkat dari fakta. Jangan sampai tuduhan itu tak punya dasar hukum,” kata Sembiring.
Sementara pakar hukum lainnya Laksanto Utomo, yang merupakan dekan FH Usahid Jakarta. Dalam penetapan kasus ini, Kejaksaan tidak terbuka. Menurut dia, jangan sampai kasus ini berakibat pada soal bisnis yang dikembangkan menjadi kriminalisasi dan berlindung di balik pemberantasan korupsi.