News

Kejaksaan Salah Tafsir Atas Istilah Penggunaan Frekuensi

nonot okeBadan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) menilai tuduhan penyalahgunaan alokasi frekuensi pada pita 2.1GHz dan penetapan tersangka atas Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2)  Indar Atmanto menunjukkan bahwa pihak penyidik Kejaksaan tidak memahami konteks telekomunikasi. Kejaksaan Agung dinilai cenderung memaksakan diri untuk menjadikan kasus IM2 sebagai kasus dugaan korupsi yang merugikan keuangan Negara.

“Penyidik Kejaksaan salah menafsirkan istilah “menggunaan frekuensi” dan tidak memahami konteks telekomunikasi terutama tentang istilah “menggunakan bersama” pita frekuensi radio. Makna menggunakan alokasi frekuensi itu artinya membangun pemancar-penerima (jaringan seluler) sendiri dan mengoperasikannya pada frekuensi tertentu. Sedangkan makna “menggunakan bersama” pita frekuensi radio artinya adalah ada dua atau lebih entitas yang masing-masing membangun jaringan radionya sendiri-sendiri dan dioperasikan menggunakan frekuensi yang sama persis.

IM2 tidak membangun jaringan radio sendiri, hanya menggunakan jaringan seluler milik PT Indosat. Ini yang amat perlu dipahami, bahwa “menggunakan jaringan seluler Indosat” tidak sama dengan “menggunakan alokasi frekuensi Indosat”. Sehingga, kewajiban Biaya Hak Pemakaian atau BHP frekuensi ada pada pihak pemilik jaringan seluler, yaitu Indosat, bukan pada IM2. Jadi, kerjasama yang dilakukan antara Indosat dan IM2 itu legal dan tidak menyalahi aturan dan merupakan praktik kerjasama yang lazim dilakukan di seluruh dunia,” tegas anggota BRTI Nonot Harsono kepada wartawan di Jakarta (Sabtu, 8/12).

Nonot menegaskan salah pikir dan tafsir atas makna menggunakan frekuensi ini mesti diluruskan. Bila tidak, carut-marut tata kelola negara di sektor telekomunikasi ini akan mengancam masa depan industri telekomunikasi yang telah berkontribusi besar penopang kegiatan ekonomi Negara. “Pihak Kejaksaan mesti mendengarkan penjelasan banyak kalangan, baik dari Menkominfo, BRTI, Mastel, ATSI, APJII dan para ahli telekomunikasi yang telah menjelaskan tidak ada yang illegal dari apa yang telah dilakukan oleh PT. Indosat Tbk. dan PT. IM2. Bila tidak, industri telekomunikasi terancam kolaps. Aneh, penjelasan dari Menkominfo sebagai majelis fatwa atas diundangkannya UU Telekomunikasi dan aturan pelaksanaannya diabaikan oleh pihak kejaksaan. Lalu rujukan apa sebenarnya yang digunakan oleh pihak Kejaksaan?,” ujar Nonot.

“Posisi IM2 itu sama dengan ratusan content provider yang berjualan konten melalui jaringan seluler dan dua ratusan juta lebih pengguna simcard telfon seluler yang memanfaatkan jaringan telekomunikasi seluler. Semuanya dapat disangka merugikan negara sebesar masing-masing 1,3 Triliun. Diibaratkan, IM2 dan CP itu pengguna saluran grosir, sementara individu pengguna telfon genggam itu pengguna saluran eceran. Kalikan saja, dua ratusan CP dan dua ratus juta pengguna seluler dengan 1,3 Triliun. Apakah Kejaksaan akan menuntut seluruh CP dan seluruh pengguna gadget di Indonesia karena mereka menggunakan frekuensi. Ini kan sesat pikir,” ujar Nonot prihatin.

BRTI juga menyesalkan sikap Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dinilai tidak konsisten dan menciderai muka sendiri. “BPKP itu mitra Kemenkominfo yang harmonis. Ada tim optimalisasi pendapatan negara. Setiap tahun sejak 2006 melakukan audit laporan pendapatan Negara dari penggunaan frekuensi, dan tidak ada masalah. Nah, kenapa saat Kejaksaan meminta BPKP melakukan audit atas kasus IM2, kemudian dianggap ada kerugian Negara atas kerjasanya dengan PT Indosat? Ini kan sesuatu yang ganjil. Seolah-olah hal ini terkesan dipaksakan,” tuturnya.

Laporan BPKP yang tidak sinkron dengan pemeriksaan tahunan Kemekominfo mengenai BHP Frekuensi menunjukkan bahwa BPKP bersikap  ‘double standard’ dan tidak konsisten. “Sikap BPKP double standard. Karena itu patut dianggap  sikap BPKP menciderai muka sendiri” ungkapnya.

 

 

 

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker